Pendekar, atau sebut saja jago karate tak harus selalu tampil garang.
Kalau enggak percaya, silakan tanya Horyu Martsuzaki (67),
guru besar Kushin-Ryu Karate-Do, yang punya 1,2 juta murid di 27
provinsi di seluruh Indonesia. “Karate itu seperti celana dalam,”
ujarnya mengejutkan.
Enggak, Anda tidak salah dengar. Karate memang bak pakaian dalam.
Maksudnya, dia melekat pada diri, tapi tak pantas terlihat, apalagi
sengaja diperlihatkan. Orang mempelajari ilmu bela diri justru agar tak
tampak galak. Di keseharian, ada dua gaya hidup seni bela diri. Pertama,
yang mementingkan peningkatan ilmu untuk memahami hakikat hidup dan
mencapai jatidiri tertinggi sehingga bersikap rendah hati, dan
sebaliknya, yang berniat memanfaatkan ilmu untuk memburu “nama baik” dan
nama besar.
“Siapa saja yang ingin menguasai karate, pertama dan terpenting tak
iri hati, berburuk sangka, mesti selalu rendah hati, pemurah,
berperilaku baik, memelihara ketenangan spiritual, berusaha keras
menjadi teladan bagi semua,” saran sang sensei yang juga punya murid di
Australia, Paraguay, Uruguay, Chile, Argentina, Panama, Timor Leste,
Singapura, Malaysia, Jepang, Korea ini.
Saran bijak tadi tertuang di sampul bukunya, Perjuangan Hidup: Hakikat
Kushin-Ryu Karate-Do (Primamedia Pustaka, 2006). Sesuai makna
karate-do, karate (dasar tangan kosong), do (harus selalu ingat belajar
kemanusiaan).
Penguasaan ilmu karate oleh orang tanpa mental mantap bisa fatal.
Bila sebatas teknik pukulan dan serangan, itu baru kulitnya. Inti
terdalam berarti mempelajari hidup dan manusia itu sendiri. Karate
mengenalkan 100 titik lemah tubuh manusia, 44
di antaranya terlemah. Titik lemah berada di pusat otot,
daging, pembuluh darah dan saraf. Jika ditinju atau ditendang karate-ka
berketerampilan tinggi, bisa meninggal.
Karena tahu betapa berbahayanya titik lemah, bagian ini malah jarang
sekali diserang. Kalahkan lawan dengan tenaga seminimal mungkin.
Mengalahkan lawan itu penting, tapi menciptakan keadilan dalam
bertanding itu lebih penting.
Karate menjembatani penempaan semangat dan jiwa untuk menemukan
hakikat watak kita sendiri. Jika tak mengenali diri sendiri, kita tak
dapat mengenali musuh. Jadi, pendekar sejati itu menguasai diri sendiri.
Kekuatan yang sesungguhnya tak hanya membuat lawan takut tapi
juga memberi kesegaran bagi lawan yang dikalahkan. Lawan mengakui
kehebatan kita dengan hormat. Lawan tak ingin lagi menyerang. Kita
menang tanpa diserang, tanpa perlu melawan.
“Saya belajar karate sejak sembilan tahun. Sampai kini merasa belum
benar-benar menguasai intinya. Ini pelajaran sampai mati. Tiada guna
banyak ilmu tanpa diterapkan. Dalam karate ada siasat, pura-pura tak
kuat supaya lawan lengah, kita menang. Jadi di keseharian, karate
membekali raga terlatih, pikiran terjaga. Sesekali marah, gusar, itu
wajar. Tapi sebentar saja. Ini proses. Sewaktu muda saya juga sering
marah, menggugat Tuhan, ha…ha…. Tapi makin berumur, kita mesti makin
bijak. Seperti padi. Makin berisi makin merunduk.”
“Mempelajari olahraga atau seni bela diri bangsa lain, berarti
mengenali budaya bangsa itu sendiri,” ujar Horyu dalam bahasa Indonesia
fasih berlogat kental Jepang, tentang alasan datang ke Indonesia sejak
akhir 1966.
Yang menarik, akar budaya tiap bangsa memberi warna tersendiri pada
teknik karate. Orang Eropa lebih cocok memukul ke atas seolah memetik
buah di ranting pohon. Orang Asia yang umumnya berlatar budaya petani
lebih cocok memukul ke bawah seolah menanam padi. Secara fisiologis,
jumlah serat otot ras Mongoloid macam Jepang dan Indonesia lebih sedikit
dibanding Anglo-Saxon. Tapi bukan berarti refleks, naluri dan kemampuan
bertarung Asia lebih rendah dibandingkan Anglo-Saxon. Agar menang, ras
Mongoloid mesti berlatih keras untuk mengubah mutu otot dan
memaksimalkan fungsi otot, kecepatan dan gerakan badan dari berbagai
sudut, serta menggali kemampuan tersembunyi.
Karate yang kini dikenal berasal dari Jepang, sebenarnya lahir dari
sinergi kungfu Cina dengan seni bela diri Jepang, ju-jutsu,
toshin-jutsu, bo-jutsu, karate Okinawa. Unsur yang berbeda itu
memperkaya. Misalnya, sundome (larangan menendang dan memukul ke badan
lawan) bukan dari kungfu.
Karate-do aliran Kushin-Ryu dikembangkan Sannosuke
Ueshima (1893-1987) pada 1932 dari gabungan kungfu Shaolin,
karate Okinawa dan aliran Konshin-ryu Juho-jutsu, serta tinju Barat. Kushin
bermakna kosong, melepaskan kesadaran hingga menyatu dengan
alam semesta. Juho-jutsu itu jurus mengendalikan lawan
tanpa pukulan mematikan tapi dengan kekuatan mental.
Oleh ayahnya yang sensei judo, Horyu awalnya “dipaksa” berlatih judo
yang lebih olahraga bantingan dan karate yang lebih ke bela diri dan
sikap satria.
Saat “ditugaskan” mengembangkan sayap ke luar Jepang, ia sebenarnya
ditawari ke AS, “Tapi saya lebih suka Asia,” ujar pria yang secara fisik
tak mengesankan sebagai mahaguru karate. “Ayah saya orang kaya,
mengirimi uang untuk biaya hidup penuh. Sampai 42 tahun ini kami sama
sekali tak ambil iuran untuk karate. Untuk nafkah hidup, kami punya
bisnis,” ujarnya seraya merahasiakan jenis bisnisnya.
“Tak perlu cari kaya, tapi kebetulan diberkahi kaya ya enak. Ini
wujud terima kasih. Terima dari Tuhan lalu kasih (berikan) pada orang
lain. Jadi, orang kaya mengambilkan untuk yang lebih membutuhkan.
Membantu orang lain tanpa membuat mereka merasa berutang budi.
Benar-benar rela.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar